WhatsApp Image 2024-02-07 at 19.33.04_8501907b
previous arrow
next arrow
xr:d:DAF-4xttWGo:71,j:1941474905019999148,t:24040103
previous arrow
next arrow

(CHIT NGIAT PAN) SEMBAHYANG REBUT

KOPPINEWS.ID, BANGKA BELITUNG – Setiap tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek, warga Tionghoa, khusus yang Bergama Konghucu, meyakini saat itulah pintu akhirat dibuka. Seluruh ruh dari segala penjuru akan turun ke bumi.

Bagi arwah yang memiliki keluarga, mereka akan pulang ke rumah dan menerima persembahan dari keluarganya, Sedangkan yang tak memiliki keluarga dan yang gentayangan akan menerima persembahan dari kelenteng.

Tidak menutup kemungkinan, diantara roh yang gentayangan itu terdapat roh yang dapat mengganggu kehidupan manusia di bumi.

Maka dari itu, umat berupaya menangkal agar roh jahat tidak mengganggu kehidupan manusia sehingga Merekapun membuat replica Thai Tse Ja yang diyakini merupakan Dewa Akhirat.

Di setiap kelenteng, replica Thai Tse Ja selalu diposisikan dalam keadaan duduk, tangan kirinya memegang buku dan tangan kanan memegang sebuah pena.

Persiapann menggelar Chit Ngiat Pan atau lebih dikenal masyarakat umum dengan Sembahyang Rebut cukup memakan waktu hingga Beberapa bulan sebelum acara puncak dimulai warga mulai bergotong royong.

Baca juga  Kemeriahan Taber Laut: Masyarakat Batu Beriga dan Bupati Algafry Rahman Rayakan Hasil Laut di Pantai Batu Panjang

Dana yang dibutuhkan pun tidak sedikit. Mereka mesti menyiapkan aneka sajian, juga membuat replica Thai Tse Ja yang tiap tahun terus bertambah tinggi. Mereka pun menyiapkan replika manusia berkepala sapid an kerbau, Dewa Kwan Kong, serta lainnya tergantung kelenteng setempat.

Biasanya replika Thai Tse Ja terbungkus dengan kain atau kertas lima warna, biru, hijau, merah, kuning dan jingga sedangkan kerangkanya terbuat dari bambu. Di pundak Thai Tse Ja dipasang beberapa payung dan bendera simbol perlindungan.

Di setiap sisi bendera tertulis huruf ‘Lin’ yang berarti manjur. Warga yang datang tidak hanya dari etnis Tionghoa saja tetapi warga etnis lain banyak yang datang ke kelenteng untuk menyaksikan ritual ini sembari menunggu ritual puncak, yakni ritual Chiong Si Ku (perebutan).

Baca juga  Penghargaan Lagi-lagi Diraih Bangka Tengah, Kali Ini Outstanding Award For Integrated Initiative

Menjelang tengah malam, jamuan-jamuan yang dihidangkan sudah dirasa cukup dinikmati oleh para arwah, sehingga prosesi ritual dilanjutkan dengan upacara rebutan sesaji yang berada di atas altar persembahan

Rika Theo dan Fennie Lie, Kisah, Kultur dan Tradisi Tionghoa Bangka, PT. Kompas Media Nusantara, 2014 hal. 125-126

[2] Wahar Saxsono dan Gustari, Pencatatan Warisan Budaya Tak Benda Di Kabupaten Bangka dalam Kapita Selekta Budaya Bangka, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangka, 2016, hal. 293.

[1] Rika Theo dan Fennie Lie, Kisah, Kultur dan Tradisi Tionghoa Bangka, PT. Kompas Media Nusantara, 2014 hal. 125-126

[2] Wahar Saxsono dan Gustari, Pencatatan Warisan Budaya Tak Benda Di Kabupaten Bangka dalam Kapita Selekta Budaya Bangka, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangka, 2016, hal. 293.

Penulis : Meilanto
sumber Bangka Tengah




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *