WhatsApp Image 2024-02-07 at 19.33.04_8501907b
previous arrow
next arrow
xr:d:DAF-4xttWGo:71,j:1941474905019999148,t:24040103
previous arrow
next arrow

Rencana Kota, Bahasa Siapa?

Penulis: Ghaisan Dhiwa Fairuz

Rencana Kota, Bahasa Siapa?

KOPPINEWS.COM, BABEL- Saya masih duduk di semester dua jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota. Terus terang, saya belum pernah turun ke lapangan dan berbicara kepada masyarakat, belum juga ikut forum warga atau mendengar langsung suara masyarakat soal rencana pembangunan. Tapi ada satu hal yang belakangan ini sering saya pikirkan: bagaimana mungkin masyarakat bisa terlibat dalam rencana kota kalau mereka bahkan tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam proses itu?

Di kelas, saya mulai diperkenalkan pada banyak istilah baru. Ada land use, urban sprawl, zoning, dan entah berapa banyak lagi istilah dalam bahasa Inggris yang belum tentu saya pahami sepenuhnya. Saya membayangkan, jika saya saja yang kuliah di jurusan ini kadang masih bingung, bagaimana dengan orang-orang biasa yang tidak punya latar belakang teknis? Dari situ, saya mulai menyadari bahwa bahasa adalah pintu pertama. Kalau pintu saja sudah tertutup rapat karena terlalu rumit atau asing, bagaimana orang bisa masuk dan ikut terlibat dalam diskusi? Kita sering mendengar bahwa partisipasi masyarakat itu penting dalam perencanaan. Tapi sejujurnya, saya mulai bertanya-tanya, apakah partisipasi itu benar-benar inklusif? Ataukah hanya formalitas warga datang, dengar presentasi, lalu pulang dengan kepala penuh tanda tanya?

Baca juga  Kolaborasi Relima dan Perpustakaan Gempita Desa Kurau Sebagai Pusat Literasi Kewirausahaan

Menurut saya, justru karena masyarakat bukan ahli perencanaan, maka bahasa yang digunakan dalam perencanaan harus ramah dan mudah dipahami. Jangan sampai proses pembangunan ini terasa seperti percakapan antarteknokrat yang hanya dimengerti oleh segelintir orang. Padahal ruang yang dibicarakan adalah ruang hidup bersama seperti jalan yang kita lewati setiap hari, taman tempat anak-anak bermain, hingga warung kecil tempat orang tua membeli kebutuhan pokok. Saya percaya, rencana kota yang baik bukan Cuma soal teknis atau data yang akurat. Tapi juga soal bagaimana rencana itu bisa dipahami dan dirasakan relevansinya oleh masyarakat luas. Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional, seharusnya jadi jembatan yang menyatukan, bukan jadi lapisan formal yang malah memisahkan.

Baca juga  Kantor Urusan Agama (KUA) Batu Ampar Mengadakam Apel Pagi

Saya memang belum punya pengalaman turun ke lapangan. Tapi sebagai mahasiswa muda, saya ingin belajar tidak hanya merancang ruang, tapi juga belajar bagaimana menyampaikan ide-ide itu dengan cara yang inklusif. Karena saya yakin, ketika bahasa dalam perencanaan dimanusiakan, masyarakat pun akan merasa dilibatkan. Bukan sekadar jadi objek yang “disosialisasikan”, tapi menjadi subjek yang benar-benar diajak bicara. Ruang publik bukan hanya soal bentuk fisik, tapi juga soal ruang untuk berdialog. Dan itu, saya kira, harus dimulai dari cara kita berbicara. Termasuk bagaimana perencana menjelaskan rencananya.

Saya masih belajar, dan tulisan ini mungkin bukan dari pengalaman langsung, tapi dari keinginan untuk tidak menjauh dari kenyataan. Saya ingin, kelak ketika saya benar-benar turun ke lapangan, saya bisa berbicara dengan masyarakat bukan sebagai “perencana yang membawa peta”, tapi sebagai manusia yang bisa diajak ngobrol, didengar, dan dipercaya, Dan semuanya, saya percaya, bisa dimulai dari bahasa.

 

 

 

 

 

 




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *