WhatsApp Image 2024-02-07 at 19.33.04_8501907b
previous arrow
next arrow
xr:d:DAF-4xttWGo:71,j:1941474905019999148,t:24040103
previous arrow
next arrow

SEPOTONG ROTI DI TEPI JALAN

SEPOTONG ROTI DI TEPI JALAN

Penulis : Tarsisius Ramto Idong

JENDELA KOPPINEWS.COM, BELINYU- Matahari siang menancap tajam di jalan pasar yang berdebu. Suara langkah-langkah orang mulai jarang terdengar, hanya beberapa pedagang yang sibuk membereskan dagangannya. Di antara terik dan panas yang menggigit, seorang anak kecil berjalan pulang dengan seragam kusam dan buku-buku lusuh dalam tas yang hampir robek.

Namanya Arka. Usianya dua belas tahun, namun garis-garis tanggung jawab sudah terlukis jelas di wajahnya yang kurus.
Sejak ayahnya berpulang, hidupnya hanya bertumpu pada seorang ibu yang kini sakit-sakitan. Rumah mereka kecil, berdinding papan, dan diisi lebih banyak doa daripada makanan.

Arka sudah terbiasa menahan lapar, sudah biasa tidur dengan perut kosong. Tapi hari itu, rasa laparnya begitu mencengkeram, membuat langkahnya goyah.
Ketika matanya menyapu jalan setapak yang ia lewati, sesuatu membuatnya berhenti. Sebuah plastik bening berisi roti manis tergeletak begitu saja, seakan terbuang, seakan dilupakan.

Arka mematung, menatap roti itu lama sekali. Ada sesuatu yang bergejolak dalam dirinya, perutnya yang meraung meminta, dan nuraninya yang bertanya, “Apakah itu milik orang lain? Apakah aku boleh mengambilnya?”

Tangannya terulur pelan. Roti itu masih utuh, bungkusnya rapat, seakan baru saja jatuh dari seseorang yang terburu-buru. Arka menelan ludah. Ia tahu benar, di rumah ibunya sedang berbaring lemah tanpa tenaga. Ia tahu sejak pagi ibunya hanya meneguk air putih untuk meredam batuk. Dan ia tahu, sepotong roti ini bisa menjadi jawaban doa mereka.

Dengan hati-hati ia
mengambilnya, lalu menggenggam erat seolah menggenggam harapan terakhir. Ia berjalan cepat menuju rumah, melewati jalan sempit yang dipagari semak dan bambu.
Sesampainya di rumah, ia mendapati ibunya masih terbaring. Wajah pucat itu menoleh perlahan, dan Arka tersenyum kecil meski matanya berkaca-kaca. “Ibu… aku menemukan ini. Mari kita makan bersama.”

Baca juga  Demi BPJS dan Infrastruktur, Babel Lakukan Efisiensi Besar-Besaran

Ibunya menatap roti di tangan anaknya, lalu menatap mata Arka. Ada kilatan syukur yang tak bisa ia sembunyikan. Bibirnya bergetar ketika ia berkata pelan, “Arka… mungkin ini cara Tuhan menjawab doa kita. Terima kasih, Nak.”
Mereka membuka bungkus roti itu, membaginya kecil-kecil. Arka lebih banyak menyodorkan pada ibunya. Setiap gigitan kecil yang masuk ke mulutnya bagaikan embun yang menetes di tanah kering. Hangat.

Menghidupkan. Arka merasa kenyang, bukan karena roti itu cukup, tetapi karena ia bisa melihat ibunya tersenyum lagi.
Namun kebahagiaan kecil itu belum lama bertahan ketika terdengar ketukan keras di pintu. Arka terlonjak, jantungnya berdegup cepat. Di depan pintu berdiri seorang pria—seorang pedagang pasar. Nafasnya terengah, wajahnya cemas. “Anak kecil,” ucapnya, “apakah kau melihat roti yang jatuh tadi siang? Aku kehilangannya di jalan.”
Arka terdiam, tubuhnya gemetar. Ia menunduk dalam-dalam, lalu dengan suara serak ia menjawab, “Benar, Pak… saya menemukannya. Maaf, saya sudah memberikannya untuk Ibu saya yang sakit. Saya tidak bermaksud mencuri… saya hanya ingin Ibu tidak kelaparan.” Suaranya pecah, dan air mata mengalir deras di pipinya.

Hening. Angin sore menyusup masuk lewat celah dinding papan. Pria itu menatap ke dalam rumah, melihat seorang perempuan terbaring dengan selimut tipis, wajahnya pucat tapi matanya penuh kasih. Ada sesuatu yang menggetarkan hatinya. Perlahan, ekspresi keras di wajahnya luluh, berganti dengan tatapan penuh iba.
“Anak baik…” katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. “Kau tidak bersalah. Justru kau mengajarkan aku tentang arti rejeki. Sejak hari ini, biarlah aku yang mengirimkan roti dan buah untuk kalian. Biar aku jadi jawaban doa kalian berikutnya.”
Arka menatap pria itu dengan mata membelalak tak percaya. “Benarkah, Pak?” tanyanya lirih, suaranya bergetar antara harap dan takut.
Pria itu mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Benar. Karena mungkin Tuhan sengaja menjatuhkan roti itu di jalan, bukan agar aku kehilangan, tapi agar kalian menemukan.”
Sejak hari itu, rumah kecil Arka tidak lagi sepi dari makanan. Setiap sore ada roti hangat dan buah segar yang dikirimkan. Perlahan, kesehatan ibunya mulai membaik, meski tidak sepenuhnya pulih. Dan setiap kali Arka duduk di beranda rumahnya, menatap jalan pasar yang dulu memberinya sepotong roti, ia selalu teringat hari itu. Hari ketika lapar, doa, dan cinta bertemu dalam satu kejadian kecil yang mengubah segalanya.

Baca juga  Ketua DPD Projo Babel Rato Rusdiyanto Himbau Masyarakat. Tanggal 27 Besok Pilih Hidayat Arsani Heliyana

Ia mengerti kini, bahwa hidup memang sering menyisakan luka dan kekurangan. Tapi di balik semua itu, selalu ada tangan-tangan tak terlihat yang bekerja, mengulurkan kasih lewat cara-cara yang sederhana.
Dan sepotong roti di tepi jalan menjadi bukti bahwa kadang, mukjizat tidak datang dalam wujud besar yang gemerlap, melainkan dalam bentuk paling sederhana yang hanya bisa dikenali oleh hati yang mau percaya dan bersyukur. (Red)

Redaksi.




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *