KOPINEWS.ID, BANGKA BELITUNG -Generasi Z, yang umumnya didefinisikan sebagai individu yang lahir antara tahun 1997 sampai dengan 2012, siap untuk membentuk kembali lanskap bisnis global dengan cara yang signifikan. Sebagai generasi yang tumbuh dengan teknologi digital, mendukung perubahan sosial, dan aktif dalam dunia kewirausahaan, mereka tidak hanya berpotensi mempengaruhi tren pasar, tetapi juga mengubah norma-norma bisnis yang ada. Dengan meningkatnya kekuatan ekonomi dan kehadiran mereka yang semakin besar di dunia kerja, preferensi, nilai, dan kemahiran teknologi Generasi Z berfungsi sebagai kekuatan disrupsi.
Salah satu ciri utama dari Generasi Z adalah kedekatan mereka yang sangat erat dengan teknologi. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang menyaksikan munculnya internet, Generasi Z tumbuh dalam dunia yang sepenuhnya terhubung secara digital. Mereka hidup di era ponsel pintar dan media sosial, di mana konektivitas terus-menerus dan akses cepat terhadap informasi telah membentuk kehidupan mereka. Karakteristik ini menjadikan mereka konsumen sekaligus pencipta teknologi, dengan kapasitas yang berbeda untuk mendorong inovasi teknologi.
Kemahiran Generasi Z dalam menggunakan perangkat digital telah memaksa perusahaan untuk memikirkan kembali pendekatan mereka terhadap pemasaran, layanan pelanggan, dan bahkan pengembangan produk. Sebagai konsumen, Generasi Z menuntut pengalaman digital yang mulus, yang mengarah pada berkembangnya e-commerce, aplikasi seluler, dan perdagangan melalui media sosial. Merek semakin dituntut untuk mengembangkan platform online yang canggih yang tidak hanya memenuhi keinginan Generasi Z akan kenyamanan, tetapi juga melibatkan mereka melalui pengalaman yang dipersonalisasi dan interaktif.
Kenyamanan Generasi Z dengan teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), augmented reality (AR), dan blockchain menunjukkan adanya pergeseran menuju otomatisasi dan integrasi digital dalam dunia bisnis. Teknologi-teknologi ini diadopsi tidak hanya untuk inovasi, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan spesifik konsumen yang menginginkan pengalaman yang lebih personal, real-time, dan imersif. Sebagai contoh, penggunaan chatbot dan asisten virtual berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) telah menjadi hal umum dalam layanan pelanggan yang memungkinkan interaksi 24 jam sehari. Oleh karena itu, kecakapan digital Generasi Z mendorong perusahaan untuk tidak
Di samping keterampilan digital yang dimiliki, Generasi Z juga dikenal memiliki komitmen yang kuat terhadap isu-isu sosial, seperti pelestarian lingkungan, keadilan sosial, dan praktik bisnis yang etis. Kesadaran mereka terhadap lingkungan dan sosial terlihat jelas dari harapan mereka akan keberlanjutan. Generasi ini lebih cenderung mendukung merek yang mengutamakan praktik ramah lingkungan, mulai dari pemilihan sumber daya yang berkelanjutan hingga pengurangan limbah melalui model ekonomi sirkular.
Semangat kewirausahaan di kalangan Generasi Z tercermin dalam peningkatan jumlah wirausaha mandiri dan kewirausahaan digital. Dengan kemudahan akses ke platform seperti Instagram, YouTube, dan TikTok, mereka dapat membangun merek dan bisnis dari nol. Demokratisasi kewirausahaan ini telah mengubah paradigma bisnis tradisional, dengan banyak anak muda yang terlibat dalam pekerjaan lepas, pekerjaan sampingan, atau memulai usaha mereka sendiri. Fenomena “pekerjaan sampingan” sangat terlihat di kalangan Generasi Z, di mana banyak dari mereka menjalani pekerjaan penuh waktu sambil mengelola usaha wirausaha, memanfaatkan media sosial sebagai sarana utama untuk mengembangkan merek dan menjual produk.
Keberadaan media sosial semakin memperkuat kemampuan Generasi Z untuk mempengaruhi perilaku perusahaan. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter menjadi sarana yang efektif bagi konsumen Generasi Z untuk menyuarakan keprihatinan mereka terhadap kebijakan perusahaan, yang dapat berdampak langsung pada reputasi merek. Pengawasan yang semakin ketat ini mendorong perusahaan untuk mengadopsi praktik yang lebih transparan, otentik, dan bertanggung jawab secara sosial guna mempertahankan loyalitas dari demografi ini.
Ekspektasi yang dimiliki oleh Generasi Z terkait budaya tempat kerja juga membentuk kembali operasi bisnis. Generasi Z menghargai keberagaman, inklusivitas, dan kesadaran akan kesehatan mental, dan mereka berharap prinsip-prinsip ini tertanam dalam struktur perusahaan. Hal ini telah menyebabkan evaluasi ulang terhadap gaya kepemimpinan, tunjangan karyawan, dan praktik-praktik organisasi.
Sebagai contoh, kesehatan mental menjadi perhatian utama bagi Generasi Z, dengan banyak individu yang memperjuangkan akses yang lebih baik terhadap sumber daya dan dukungan kesehatan mental di tempat kerja. Banyak perusahaan kini menawarkan program kesehatan, hari kesehatan mental, dan layanan konseling untuk memenuhi permintaan ini. Selain itu, dorongan untuk keberagaman dan inklusivitas telah mendorong penerapan program keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI) yang lebih efektif, guna memastikan semua karyawan merasa dihargai dan terwakili.
Sebagai kesimpulan, Generasi Z lebih dari sekadar kelompok konsumen atau pekerja. Mereka mewakili perubahan besar dalam cara dunia bisnis beroperasi. Kefasihan teknologi, komitmen terhadap nilai-nilai sosial, pola pikir kewirausahaan, dan permintaan akan keseimbangan kehidupan kerja merupakan katalisator perubahan di dunia korporat. Ketika perusahaan berusaha untuk terlibat dengan generasi ini, mereka harus beradaptasi dengan realitas baru, seperti merangkul transformasi digital, memprioritaskan keberlanjutan dan tanggung jawab sosial, serta membina lingkungan kerja yang fleksibel dan inklusif. Jika perusahaan gagal melakukan hal ini, mereka berisiko tertinggal dalam persaingan bisnis yang semakin dinamis dan kompetitif. Generasi Z tidak menunggu masa depan, mereka yang menciptakannya, dan perusahaan harus siap mengikuti perubahan tersebut.
Penulis: Gita Novianti, Mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Bangka Belitung.




































