WhatsApp Image 2024-02-07 at 19.33.04_8501907b
previous arrow
next arrow
xr:d:DAF-4xttWGo:71,j:1941474905019999148,t:24040103
previous arrow
next arrow

Melestarikan Budaya Pantang Larang di Tanah Melayu Bangka

Melestarikan Budaya Pantang Larang di Tanah Melayu Bangka

KOPPINEWS.COM,Pangkal Pinang -Preservasi budaya lokal merupakan salah satu cara untuk menjaga identitas bangsa di tengah arus modernisasi. Di masyarakat Melayu Bangka, tradisi pantang larang masih menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun, seiring dengan perubahan zaman, nilai-nilai yang terkandung dalam pantang larang ini mulai tergerus. Melihat fenomena ini, tiga dosen dari Universitas Bangka Belitung (UBB), yakni I Nyoman Pasek Darmawan, Muhammad Rozani, dan M Afifuloh, melakukan penelitian tentang bahasa pantang larang di Kabupaten Bangka dan Kabupaten Bangka Selatan. Penelitian ini juga didukung oleh data dari Lembaga Adat Melayu Bangka.

Pantang larang dalam masyarakat Melayu Bangka tidak hanya mencerminkan aturan sosial, tetapi juga nilai-nilai kepercayaan dan filosofi kehidupan. Misalnya, larangan membawa telur ke laut (“Jen mawek telok ke laot, takot ade hal”) dipercaya dapat mencegah bencana. Larangan ini, selain memiliki nilai spiritual, juga dapat dipandang sebagai upaya menjaga ekosistem laut dari potensi kontaminasi. Contoh lainnya adalah larangan menyapu di malam hari (“Jen nyape malem-malem, ngilang rizki”), yang mengajarkan pentingnya menghargai waktu dan energi.

Baca juga  Sekda Kota Pangkalpinang bahas BGS terhadap Lahan Pemkot Pangkalpinang

Penelitian para dosen UBB menemukan bahwa pantang larang memiliki dua fungsi utama: menjaga keharmonisan lingkungan dan memperkuat kohesi sosial. Larangan membangun rumah menutup aliran sungai (“Jen mangun umah ngadep alor sungai, kelak mawak penyaket”) misalnya, bertujuan untuk mencegah banjir dan penyakit yang bisa timbul akibat kerusakan lingkungan. Selain itu, larangan calon pengantin untuk keluar rumah sebelum hari pernikahan (“Calon penganten jen sering keluar umah, kelak takot ade hal”) mencerminkan upaya menjaga adat istiadat serta menghormati momen sakral dalam kehidupan.

Data yang diperoleh dari Lembaga Adat Melayu Bangka juga menambahkan kekayaan perspektif terhadap penelitian ini. Salah satu contohnya adalah larangan membawa buah kemilik ke laut (“Jen mawek kemilik ke laot, kelak takot ade hal”), yang menunjukkan adanya keyakinan lokal untuk menjaga hubungan harmonis dengan alam. Nilai-nilai ini, meskipun sering dianggap takhayul, sebenarnya mengandung pesan moral yang relevan hingga kini.

Baca juga  Pembagian paket sembako tidak membedakan suku ras/Agama, (HKBP) Huria Kristen Batak

Namun, pelestarian tradisi pantang larang ini menghadapi tantangan besar. Globalisasi dan modernisasi seringkali membuat generasi muda abai terhadap tradisi lokal. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk mengintegrasikan nilai-nilai pantang larang ke dalam pendidikan budaya lokal. Langkah ini penting agar tradisi ini tidak hanya menjadi kenangan, tetapi tetap hidup dalam praktik keseharian masyarakat.

Keberadaan pantang larang masyarakat Melayu Bangka merupakan kekayaan budaya yang tak ternilai. Dengan menjaga dan mempelajarinya, kita tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga menghormati kearifan lokal yang telah diwariskan oleh leluhur. Penelitian yang dilakukan oleh para akademisi UBB ini menjadi bukti nyata bahwa ilmu pengetahuan dapat berperan penting dalam menghidupkan kembali nilai-nilai tradisional untuk membangun masyarakat yang lebih bermartabat dan berkelanjutan.(RED)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *